Jakarta, Mimbar Sport – Saya terlahir dari keluarga tentara yang terbiasa rutin berolahraga. Mulai dari bola basket, bulutangkis, hingga sepak bola.
Tapi sepak bola akhirnya jadi pilihan nomor satu karena lebih populer dan menyenangkan dimainkan ketika masih bocah. Saya pun ikut keranjingan dan akhirnya nyemplung lebih dalam.
Semula saya bermain di berbagai posisi mulai kanan luar, kiri luar, second striker hingga akhirnya mantap memutuskan jadi striker sampai disebut-sebut mirip striker legendaris timnas Jerman, Gerd Muller.
Julukan itu berlebihan memang. Tapi saya bangga bisa disamakan dengan striker legendaris kelas dunia. Saya bersyukur mendapat pengakuan itu.
Saya ingat betul, julukan itu populer karena tulisan almarhum Sumohadi Marsis di halaman utama Kompas. Mantan wartawan Kompas yang kemudian mendirikan Tabloid Bola.
Indnesia team in FIFA World Youth Tokyo79,
Indnesia vs Poland0-6 at Omiya in Japan 28 Aug1979
Photo by Masahide Tomikoshi / TOMIKOSHI PHOTOGRAPHY pic.twitter.com/q2hv9rT8MZ— tphoto (@tphoto2005) June 27, 2019
Sebetulnya julukan Gerd Muller itu kali pertama muncul dari Abdul Kadir. Pemain senior yang berjasa membawa saya jadi pemain profesional. Jadilah banyak media mengutip saya sebagai Gerd Muller Indonesia.
Saya tak bisa menilai diri sendiri, tapi yang saya tahu Muller adalah raja kotak penalti. Artinya, besar kemungkinan peluang sekecil apa pun bisa jadi gol kalau dia sudah pegang bola di kotak penalti.
Lupakan istilah Gerd Muller, karena saya adalah Bambang Nurdiansyah. Salah satu pemain yang pernah menghiasi perjalanan sepak bola Indonesia.
Di zaman saya menembus klub profesional tidak gampang. Kami harus berjuang setengah mati dari klub-klub internal perserikatan yang sudah sarat persaingan untuk menuju klub profesional.
Tak seperti sekarang, ada yang dari SSB bisa dipanggil Timnas kelompok umur. Tapi mungkin saja jalan cerita zaman dulu dan sekarang sudah berbeda.
Saya sendiri pernah gabung di Indonesia Muda Malang hingga dilirik Persema Malang. Kemudian masuk PSAD Surabaya dan dipanggil tim senior Persebaya untuk bermain di turnamen-turnamen tak resmi seperti Tugu Muda di Surabaya dan Siliwangi Cup di Bandung.
Tapi, saya tak masuk skuad ketika Persebaya tampil di kompetisi resmi. Mungkin dianggap masih terlalu hijau dan pada saat itu memang banyak pemain senior yang lebih siap bersaing di level tertinggi.
Saya sempat terpukul tak menembus tim utama Persebaya, klub besar yang punya sejarah di Indonesia. Tapi ternyata Tuhan punya rencana lain. Kegagalan di Bajul Ijo hanya menunda kesuksesan saya di tempat lain.
Abdul Kadir, yang kala itu jadi pemain Persebaya, ternyata mengamati bakat saya dari jauh. Saya kaget bukan kepalang dia mengajak saya ikut ke Arseto pada 1978.
Saya tak mau menyia-nyiakan kesempatan dan bertekad membalas kepercayaan Kadir. Semesta pun mendukung, saya menjadi salah pemain muda yang bersinar bersama Arseto.
Saya dapat banyak pelajaran di Arseto. Kepercayaan diri, bermain efektif, dan selalu haus gol. Entah berapa gol yang sudah saya cetak untuk Arseto. Yang jelas klub itu menggembleng saya sebagai striker yang lebih matang.
Sayang, saya belum sempat mempersembahkan gelar juara Galatama untuk Arseto dan memutuskan pindah ke Tunas Inti pada 1982.
Trofi juara baru saya cicipi ketika bermain di Yanita Utama. Dua gelar sekaligus saya raih di Yanita Utama dan dua musim itu pula saya sukses menjadi top skor pada 1983 dan 1984.
Karier saya makin melejit dan makin banyak tawaran yang datang. Tapi, Krama Yudha Tiga Berlian jadi pelabuhan selanjutnya. Saya pun sukses membawa klub ini juara pada tahun 1985 dan lagi-lagi menyabet gelar pencetak gol terbanyak.
Kemudian saya menjalani petualangan berikutnya ke Pelita Jaya pada 1986. Di klub Jakarta ini saya juga berhasil merasakan dua kali juara Galatama dan satu musim di antaranya sukses menjadi top skor.
Jika dihitung, saya mencatat empat kali top skor dan lima kali juara di kompetisi Galatama. Mungkin bisa dibilang sebagai prestasi langka dalam sejarah sepak bola Indonesia.
Setelah enam tahun membela Pelita Jaya saya memutuskan memperkuat Putra Samarinda yang kemudian jadi klub terakhir dalam karier profesional saya.
Perjumpaan Spesial dengan Maradona
Setelah membahas karier di klub, saya mau cerita juga sepak terjang di Timnas Indonesia. Seiring dengan prestasi di Arseto, saya pun dipanggil memperkuat Timnas Indonesia.
Karier saya di klub berbanding lurus di Timnas. Sejak usia muda saya terpilih sebagai salah satu pemain Timnas Indonesia di Piala Asia Yunior 1978 di Bangladesh.
Saat itu kami tergabung di Grup A bersama Irak, Yordania, dan Malaysia. Kami sebenarnya main bagus dan mampu mengalahkan Yordania 1-0 dan Malaysia 2-0, tapi harus puas finis sebagai runner up karena kalah 0-1 dari Irak.
Lolos sebagai runner up memang cukup untuk melaju ke perempat final. Namun, kami gagal melangkah lebih jauh usai dikalahkan Korea Utara 0-2.
Meski tersingkir di perempat final kami mendapat kesempatan tampil di Piala Dunia Yunior 1979 di Jepang. Lolosnya Indonesia ke turnamen usia muda bergengsi itu karena alasan politis.
Irak mundur sementara beberapa wakil Asia yang ditawari jadi tim pengganti memutuskan tak bersedia. Jadilah Indonesia bermain di Piala Dunia usia muda.
Momen yang tak akan pernah terlupakan adalah menghadapi legenda sepak bola Diego Maradona yang saat itu sudah menjadi pemain muda top dunia dan sering jadi pemberitaan media internasional juga Indonesia.
Di usia muda saja Maradona sudah jadi brand ambassador apparel olahraga ternama. Bayangkan, dia ke mana-mana selalu dikawal body guard. Jadi, kami pemain pun segan mau minta foto berdua.
Beruntung kami mendapat kesempatan foto bersama tim di lobi hotel. Sayang, saya enggak punya foto salinan foto itu sampai sekarang.
Meski kami semua kagum dengan Maradona tapi tidak pernah minder. Malah tambah semangat bermain. Namun, tak bisa dipungkiri level Indonesia jelas kalah kualitas.
Sejak awal Mundari Karya dipersiapkan untuk mengawal Maradona ke mana pun. Tapi, upaya tersebut tak berhasil. Dia selalu punya cara untuk meloloskan diri. Gila!
Saya sendiri tak punya peluang. Bagaimana mau cetak gol jika sepanjang permainan kami dibuat sibuk bertahan sulit menembus pertahanan mereka.
Tapi, bagi saya itu adalah kekalahan terhormat. Kami sudah berjuang semampu kami dan memang kalah segalanya dari mereka.
Namun, saya dan teman-teman bangga punya kesempatan satu lapangan dengan Maradona yang kemudian jadi legenda sepak bola dunia. Bulan lalu ia telah berpulang lebih dulu.
Sejak tampil di Piala Dunia Yunior 1979 saya rutin membela tim Merah Putih dan turut ambil bagian saat Indonesia juara di SEA Games 1991.
Kalau tidak salah saat itu saya sudah menginjak 32 tahun. Usia yang tak lagi muda lagi dan sudah hampir setahun tak lagi memperkuat Timnas.
Jujur saya terkejut sekali masih mendapat kesempatan membela Timnas Indonesia. Ternyata, pelatih Anatoli Polosin memilih saya sebagai pengganti Mustaqim yang cedera.
Saya yang masuk di pertengahan persiapan ikut merasakan kerasnya gemblengan fisik dari Polosin. Salah satu pelatih top yang sangat disiplin. Bahkan beberapa pemain memilih mundur karena tak sanggup mengikuti.
Jujur, saya juga kedodoran saat berlatih. Tapi, saya tetap berjuang untuk memberikan sumbangsih untuk negara. Kerja keras saya tak sia-sia karena akhirnya kami berhasil juara di Manila!
Saya memang tak banyak mendapat kesempatan bermain karena cedera juga di menit-menit akhir. Padahal Polosin panggil saya sebagai striker senior yang siap main di level internasional.
Beruntung kami masih memiliki beberapa penyerang muda berbakat yang sedang naik daun. Ada Widodo C Putro, Hanafing, dan Rochy Putiray.
Skuad Timnas Sea Games 1991 ini akan terus melegenda. Skuad Timnas Indonesia inilah yang terakhir yang meraih emas >> pic.twitter.com/srYqTHOJXq
— K-Conk 1 Dhere (@KConk1Dhere) June 13, 2015
Bagi saya Polosin adalah salah satu pelatih pintar. Dia jeli menganalisa kekurangan dan kelebihan pemainnya sebelum menyusun program latihan.
Dia sengaja menggembleng fisik bukan berarti untuk bermain barbar di lapangan. Tujuannya agar pemain bisa melakukan permainan yang diinginkan tanpa gampang kelelahan.
Intinya jika fisik oke, dia bisa menerapkan banyak strategi di lapangan. Mau pakai sitem apa pun permainan bisa berjalan sesuai dengan tujuan Polosin.
Buktinya anak-anak berhasil menghajar Malaysia 2-0, Vietnam 1-0, dan Filipina 2-1 di fase grup. Selanjutnya, kami sukses mengalahkan Singapura di semifinal dan Thailand di final.
Semua pemain tampil bersemangat di lapangan dan siap menghadapi situasi krisis berkat Polosin. Ini terbukti ketika kami menang lawan Thailand di final. Jika tidak siap secara fisik dan mental, Indonesia tidak bisa juara saat itu.
Saya turut bangga bisa jadi bagian tim juara di SEA Games 1991. Itulah persembahan terakhir sekaligus terindah di tim Merah Putih.
Mengabdi sebagai Pelatih
Setelah pensiun dari timnas saya memutuskan jadi pelatih karena memang tak bisa lepas dari dunia sepak bola. Sempat mencoba bekerja sebagai wakil manajer promosi di salah satu produsen olahraga ternama, tapi akhirnya saya tinggalkan dan memilih terjun sebagai pelatih.
Harus diakui karier saya sebagai pelatih tidak sementereng sebagai pemain yang bergelimang gelar juara. Tapi bagi saya yang terpenting adalah melakukan suatu hal yang jadi passion saya sejak dulu.
Saya pernah menangani PSIS Semarang, Pelita Jaya, Arema Malang, Persiram Raja Ampat, Cilegon United, dan Persija Jakarta. Tak ada satu pun klub itu yang sukses menjadi juara.
Perlu diingat tak semua pelatih hebat mampu mempersembahkan gelar juara. Banyak faktor yang mendukung sebuah klub bisa menjadi juara. Finansial dan kualitas pemain juga cukup menentukan.
Prestasi terbaik saya di klub mungkin terjadi ketika membawa PSIS Semarang peringkat ketiga di Liga Indonesia 2005. Saya lumayan punya banyak kenangan di PSIS karena tiga kali bolak-balik jadi pelatih di sana karena berteman baik dengan manajer klub Yoyok Sukawi.
Terakhir saya diminta menjadi direktur teknik PSIS pada 2019 lalu sekaligus mengisi kekosongan jabatan pelatih. Kontrak saya selesai di 2020 setelah mereka mendapat pelatih baru.
Saya pernah menangani Timnas Indonesia U-23 pada 2002 dan berhasil menjadi juara di kejuaraan Sultan Hassanal Bolkiah di Brunei Darussalam. Hamka Hamzah dkk tampil solid dengan menumbangkan Malaysia di semifinal dan menumbangkan Thailand di final.
Juara di Brunei jadi prestasi tertinggi saya saat menangani Timnas. Tapi, setidaknya berhasil menelurkan para pemain muda seperti Hamka Hamzah, Eka Ramdani, Syamsul Chaerudin, dan lain-lain yang akhirnya menjadi langganan timnas di masanya.
Bambang Nurdiansyah top skor Galatama Mercu Buana (1983), Yanita Utama (1984), Krama Yudha Tiga Berlian (1985). pic.twitter.com/hde54i7Knv
— Juara Bola (@JuaraBola) April 17, 2015
Saya pernah dipercaya sebagai asisten pelatih Timnas Indonesia di Kualifikasi Asian Games 2006 di Doha, Qatar. Pelatih utamanya saat itu berasal dari Belanda Foppe de Haan. Kami gagal lolos fase grup karena kalah bersaing dari Irak dan Suriah.
Itu jadi karier terakhir saya di Timnas.
Tapi, langkah saya tak berhenti sampai di situ. Saat ini saya fokus jadi instruktur pelatih yang diminta PSSI. Saya juga menjadi salah satu perumus kompetisi Pro Elite Academy U-16 dan U-18.
Saya masih menyimpan mimpi Timnas Indonesia berprestasi di ajang internasional dan sistem pembinaan usia dunia dini bisa berjalan sesuai program.
Untuk itu saya tidak mau berhenti belajar karena sepak bola terus berkembang. Saya juga tak letih untuk mengambil lisensi kepelatihan agar bisa dibagikan ke generasi penerus. Saat ini saya menjadi satu dari sedikit pelatih Indonesia yang mengantongi UEFA Pro License.
Kami punya moto bahwa instruktur yang bagus akan menghasilkan pelatih bagus. Sementara pelatih bagus juga akan melahirkan pemain bagus. Jadi, tiga elemen ini harus berjalan linear.
Jika ada orang yang bilang sepak bola Indonesia mundur atau jalan di tempat itu salah besar. Sepak bola Indonesia juga terus berlari, hanya saja tetangga-tetangga kita larinya lebih kencang. Hehehe…
Tapi menurut saya Indonesia juga bisa mengejar ketinggalan jika punya sistem pembinaan yang tepat dan dipimpin orang-orang yang tepat. Mungkin mimpi saya ini adalah mimpi kalian juga. Mari kita bergandengan tangan untuk merealisasikan mimpi kita bersama.